Senin, 12 Mei 2008

UN Vs Target Kelulusan dan Kejujuran

UN Vs Target Kelulusan dan Kejujuran
Senin, 12 Mei 2008 | 11:15 WIB (Kompas, 12 Mei 2008)

Oleh Indra Yusuf

Ada dua hal penting terkait dengan pelaksanaan ujian nasional atau UN. Pertama, persoalan tingkat persentase dan target kelulusan yang akan dicapai sekolah. Kedua, persoalan nurani atau kejujuran dalam pelaksanaannya. Idealnya, dua hal tersebut memang harus berjalan seiringan. Target kelulusan tercapai dan pelaksanaannya pun bersih dari berbagai kecurangan.

Akan tetapi, untuk saat ini rasanya sulit keduanya dapat diraih secara bersamaan oleh suatu sekolah atau daerah tertentu. Ini mengingat masih banyak keterbatasan sarana-prasarana ataupun SDM di berbagai daerah di Indonesia.

Sekolah atau daerah akhirnya memutuskan salah satu pilihan dari dua pilihan itu walaupun tentu keduanya sama-sama membawa risiko. Namun, sekali lagi untuk saat ini, sekolah atau daerah lebih banyak memilih target kelulusan yang tinggi (baca: 100 persen) dibandingkan dengan nilai kejujuran yang hakiki. Karena memilih target kelulusan, risikonya lebih kecil atau bahkan tidak berisiko karena relatif lebih "aman". Sebab, kecurangan yang sering kali terjadi membentuk suatu jaringan yang melibatkan pihak yang semestinya mengawal kesuksesan UN.

Sementara sekolah yang memilih kejujuran akan menghadapi berbagai persoalan untuk waktu ke depannya.

Banyak pejabat dan kepala daerah atau kepala sekolah yang takut tingkat kelulusan di daerah atau sekolahnya rendah sehingga ia memberikan tekanan yang begitu besar kepada sekolah yang kemudian dilanjutkan kepada guru mata pelajaran yang di UN-kan. Mengejar target kelulusan dan rasa takut kehilangan jabatan dengan mudah akan meminggirkan nilai kejujuran demi tujuannya itu.

Nilai kejujuran semestinya menjadi ruh untuk diembuskan dalam dunia pendidikan. Namun, alih-alih membantu siswa, menyelamatkan masa depannya, dan menyelamatkan nama lembaga, ternyata sekadar merusak generasi bangsa dan meruntuhkan fondasi pendidikan dan menyelamatkan sebuah jabatan seseorang. Sulit

Sulit rasanya menemukan sekolah yang lebih mengutamakan kejujuran dibandingkan dengan angka atau target kelulusan tertentu. Sekolah yang memilih kejujuran tentu akan siap menghadapi sanksi dan cemoohan masyarakat karena hampir dipastikan akan memperoleh tingkat kelulusan yang rendah, apalagi bagi sekolah di daerah. Sekolah dihadapkan pada pilihan dilematis. Demikian juga dengan guru mata pelajaran yang secara batin mengalami pemerkosaan. Guru yang idealis bersiap-siaplah mendapatkan sanksi dan tekanan secara fisik ataupun mental dari lingkungan ia berada.

Memang sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan kebenaran lebih besar risikonya dibandingkan dengan yang memilih jalan keliru, yang justru relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas.

Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan "dibantu" pihak sekolah. Bukan tidak mungkin hal ini lambat laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan motivasi belajar siswa.

Kita juga dapat membandingkan bahwa hasil try-out UN di sekolah-sekolah yang notabene dibuat gurunya sendiri dengan hasil UN sesungguhnya yang akan diumumkan nanti akan sangat besar standar deviasinya. Soal try-out UN lebih familiar daripada soal UN, tetapi mengapa tingkat kelulusannya jauh lebih rendah di bawah 50 persen. Adapun soal UN yang dibuat pusat justru menunjukkan hasil fantastis, lebih dari 95 persen yang lulus.

Sesungguhnya, mendeteksi sekolah/daerah yang curang dalam melaksanakan UN tentu sangat mudah bagi Departemen Pendidikan Nasional. Sebab, dengan melihat grafik analisis statistik tertentu dari hasil UN di suatu sekolah dengan bantuan seorang ahli statistik Depdiknas dapat dikenali ada tidaknya kecurangan. Apalagi, bila kita kaitkan dengan analisis butir soal dan pola jawaban yang ada.

Pastilah grafik yang dihasilkan secara murni atau alamiah akan berbeda dengan grafik yang dihasilkan melalui unsur rekayasa atau terindikasi melakukan kecurangan. Tentu ini tidak dapat dijadikan bukti, hanya setidaknya dapat menjadi indikasi awal untuk ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi di lapangan secara mendalam.

Menteri Pendidikan Nasional pernah mengatakan, "Saya tidak pernah menargetkan berapa yang lulus dan berapa yang tidak lulus. Yang paling utama adalah kejujuran peserta UN, guru, penyelenggara UN, pengawas, dan orang-orang dari Depdiknas sendiri" (Kompas, 22/4). Dari apa yang dikatakan Mendiknas, tersirat sebenarnya pemerintah ingin agar pelaksanaan UN ini bersih. UN agaknya lebih bermakna sebagai ujian kejujuran, bukan pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan seandainya pelaksanaan UN masih seperti ini. Pengamanan dan pengawasan

Sebetulnya pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara agar pelaksanaan UN bisa jujur dan bersih, tetapi hal itu sulit tercapai bila tidak dimulai dari pihak yang terkait dengan UN, seperti siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah, atau Depdiknas. Pengawasan dan pengamanan bagaimanapun tidak akan mampu menjamin UN terselenggara dengan jujur. Sekali lagi, pengamanan dan pengawasan yang dilakukan berbagai pihak, seperti dari dinas pendidikan, tim independen (perguruan tinggi), atau sekalipun dari unsur kepolisian tidak akan berarti apa-apa jika pihak-pihak tersebut tidak mempunyai itikad baik yang kuat.

Pasalnya, selama ada pihak yang memang memiliki kepentingan terhadap keberhasilan UN, pelaksanaan UN akan jauh dari kejujuran. Selama ini pihak-pihak tertentu atau bahkan dari tim independen mengatakan, pelaksanaan UN berjalan lancar dan tanpa ada kebocoran. Bila memang begitu, perlu dipertanyakan efektivitas keberadaan tim pengawas dan pengaman UN yang telah menghabiskan anggaran yang cukup besar.

Bisa jadi mereka tidak memahami atau pura-pura tidak mengerti di mana, kapan, dan siapa yang akan melakukan kecurangan. Perlu ditegaskan, dugaan kecurangan UN tidaklah terjadi di jalan raya atau dalam bentuk pencurian soal atau pembocoran soal oleh pihak luar, melainkan diduga kuat dari dalam sendiri.

Penyelesaian masalah ini sebetulnya mudah, tinggal seberapa besar komitmen pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah yang sebaiknya ditempuh adalah tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan.

Jika memang UN tetap menjadi salah satu kriteria kelulusan, pemerintah harus lebih jeli, sungguh-sungguh, dan tegas menindak pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Berikan pemahaman kepada masyarakat tentang makna kelulusan dan ketidaklulusan karena itu semua merupakan bagian dari proses pendidikan.

Dalam ujian masuk perguruan tinggi, lebih banyak yang tidak lulus dibandingkan dengan yang lulus, tetapi tak pernah ada gejolak. INDRA YUSUF Praktisi dan Peminat Masalah Pendidikan

Tidak ada komentar: